Sudah mendekati lima belas tahun, yakni sejak tahun 1996, Sanggar Sastra Tasik (SST) menghiasi wacana kreatif dalam pergulatan sastra Indonesia di berbagai kesempatan. Meskipun hanya tinggal di wilayah kota kecil yang bernama Tasikmalaya, tapi tetap setia memupuk rindu para penggemarnya setiap saat. Bahkan terus menerus melahirkan sosok-sosok penyair serius, pekerja keras, tangguh, tapi santun.
SST kerap kali diplesetkan dalam guyonan di kalangan praktisi kesenian sebagai kumpulan orang-orang "sesat". Bahkan kesesatan ini terkadang ditanggapi miring oleh pihak-pihak penguasa yang sama sekali tidak memahaminya dan lugu. Tentu saja hal ini banyak menuai polemik menggelikan.
Begitu besarkah pengaruh SST dalam ranah sosial-politik khususnya di Tasikmalaya?
Entahlah. Sebuah puisi atau cerpen mungkin tak bisa merubah sebuah situasi politik yang carut marut seperti sekarang ini. Apalagi kalau sampai bisa membunuh selayaknya pistol yang ditembakan ke arah kepala para koruptor. Hanya saja karya-karya sastra ini selalu dapat jadi "senjata rakyat" paling berbahaya. Seperti bom waktu.
Tapi sastra juga penuh pesona. Keseksiannya melebihi goyangan pinggul penyanyi dangdut di mata penggemar dan penghujatnya. Lebih berwibawa dari pidato politik dari juru kampanye manapun yang selalu mengumbar janji-janji yang belum tentu diniati untuk ditepati. Sebab dalam sastra, merenungi dan memotret realitas kehidupan di sekitar masyarakat lebih penting. Terlebih karena selalu ada semacam solusi simbolis di dalamnya. (IM)