SELAMAT DATANG DI BLOG SANGGAR SASTRA TASIK............................................MENGGAULI SASTRA BUKANLAH DOSA

Senin, 03 Oktober 2016

Lomba Baca Puisi Jawa Barat Terbuka 2016



Sebuah Upaya Membumikan Puisi
 LOMBA Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih membumikan puisi ke tengah-tengah masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah komitmen yang tetap dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya pada paruh akhir tahun 1996 silam. SST merupakan satu-satunya komunitas sastra di Tasikmalaya yang secara khusus bergelut di bidang sastra, terutama puisi. Meski tidak secara khusus menggarap pelatihan baca puisi – sebab lebih cenderung menjadi laboratorium penulisan puisi bagi para peminat serius untuk menulis puisi, SST berkepentingan untuk memetakan bibit-bibit pembaca puisi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan penyelenggaraan lomba seperti ini.  

            Kami melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan lomba seperti ini. Betapa di tengah-tengah “terasingnya” puisi bagi sebagian besar masyarakat kita, ternyata selalu saja terdapat pembaca puisi yang baik bahkan sangat baik, yang – tidak saja mampu memperlihatkan interpretasi yang benar terhadap teks puisi yang dibacanya, melainkan juga mampu menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang memikat ketika tampil di atas pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa hidup dan sangat menarik. 

Secara teks, puisi memang hanyalah benda mati yang mungkin sulit untuk dipahami atau dinikmati oleh sebagian besar orang. Maka tugas pembaca puisilah untuk menghidupkan dan menyampaikan pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya kepada pendengar atau penonton.  
 
Lewat pembacaan yang baik, puisi seolah menjadi benda hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi tontonan yang asyik dan nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut atau musik pop, umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah sangat kontemplatif dan bahkan cukup inspiratif jadinya. Pada gilirannya, mentalitas dan ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas Lomba Baca Puisi sebagai media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu memancing perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik lebih jauh kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak diselenggarakan oleh banyak kalangan secara terus-menerus, bisa jadi katup “alienasi” puisi dalam kehidupan masyarakat kita, perlahan namun pasti, akan terbuka dengan sendirinya. Itulah barangkali yang senantiasa dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik atau mungkin oleh kita semua. 

Lewat Lomba Baca Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan membangun karakter diri. Ah, semoga saja ini tidak sekedar sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji, sebab kami bukan politisi yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa bukti. Sehingga, bisa jadi benar bahwa ketika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya. Demikian sebagaimana yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.

Selamat berlomba. Merdeka! (*)

SANGGAR SASTRA TASIK (SST)

Lomba Baca Puisi Jawa Barat Terbuka 2016 dalam rangka Milad ke-20 Sanggar Sastra Tasik (SST) akan berlangsung Tgl. 29-30 Oktober 2016 di Kompleks Pesantren Riyadlussholihin, Kubangsalawe, Kec. Sukaratu, kab. Tasikmalaya, Jawa Barat. 

Syarat kepesertaan lomba baca puisi: 
usia 17 tahun ke atas, 
domisili Jawa Barat atau di seluruh wilayah Indonesia, 
mengisi formulir pendaftaran, 
membayar biaya administrasi sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) 
serta diusahakan menghadiri Technical Meeting pada 25 Oktober 2016 mulai pukul 14.00 WIB di SMA IT Riyadlussholihin, Kubangsalawe, Tasikmalaya.
 
Pendaftaran untuk Lomba Baca Puisi mulai Tgl 26 September hingga 25 Oktober 2016, 
melalui: Sekretariat SST, Jl. Argasari No. 22 RT 03/02 Kel. Argasari, Kec. Cihideung Kota Tasikmalaya 46122.

Atau via online melalui : http://tinyurl.com/daftarlbp


UNDUH ANTOLOGI PUISI (KLIK)





Tata-tertib Lomba Baca Puisi JAWA BARAT TERBUKA 2016
20 Tahun Sanggar Sastra Tasik (SST)



  1. Peserta sudah berada di lokasi lomba (Gd. Dakwah Islamiyah Singaparna), selambat-lambatnya 5 menit sebelum lomba dimulai.
  2. Peserta mengenakan pakaian yang bebas namun sopan.
  3. Tanda nomor peserta harus dikenakan di tempat yang mudah dilihat oleh juri.
  4. Peserta tampil di panggung setelah pemandu acara memanggil nomor giliran tampilnya.
  5. Peserta yang tidak tampil setelah nomornya dipanggil, akan terus dipanggil  sampai 3 kali panggilan. Setelah 3 kali panggilan, peserta bersangkutan tidak tampil maka panggilan kedua untuk peserta bersangkutan akan dialihkan setelah keseluruhan peserta mendapat giliran tampil. Jika setelah panggilan kedua, peserta bersangkutan tidak juga tampil, maka kesempatan tampilnya digugurkan.
  6. Saat tampil di panggung lomba, peserta hanya dibenarkan membacakan satu judul puisi yang telah dipilihnya serta telah dicatatkan oleh panitia.
  7. Peserta tidak dibenarkan menyampaikan kata-kata pengantar apapun baik sebelum atau sesudah penampilannya, kecuali ucapan salam, misalnya assalaamu’alaikum wr. wb. Atau selamat pagi/selamat siang/selamat sore/selamat malam.
  8. Pada babak penyisihan, Dewan Juri akan memilih sejumlah peserta yang masuk babak final.
  9. Peserta yang masuk pada babak final akan diketahui dengan sendirinya  pada saat pelaksanaan babak final itu sendiri. Jadi tidak diumumkan sebelumnya.
  10. Jumlah peserta yang masuk final ditentukan oleh dewan juri yang dikonsultasikan dengan panitia.
  11. Pada babak final, finalis hanya membacakan satu judul puisi yang telah dipilihnya untuk babak final.
  12. Puisi yang dibacakan pada babak final harus berbeda dengan puisi pada babak penyisihan.
  13. Juri akan memilih juara 1-3 dan harapan 1-3, serta juara Favorit.
  14. Penilaian Dewan Juri didasarkan pada 3 kriteria:
    1. Vokal
    2. Penghayatan
    3. Penampilan
  15. Peserta boleh membacakan puisi dengan/tanpa pengeras suara/mikrofon.
  16. Peserta tidak diperkenankan membawa dan atau menggunakan alat musik/properti pentas, kecuali map atau papan baca naskah.
  17. Penampilan/improvisasi di luar pembacaan puisi (baik sebelum atau sesudah baca puisi) tidak termasuk dalam penilaian.
  18. Peserta tidak diperkenankan membacakan puisi dengan bantuan orang lain.
  19. Peserta yang tidak mengindahkan tata-tertib ini dikenai sanksi dengan dikurangi nilainya oleh Dewan Juri. 



NYEKER



Oleh Fauz Noor 

Berjalan tanpa alas kaki/ Membiarkan kaki menyentuhnya bumi/ Di tengah pikuk kubudayaan yang hampir mati. 




Sore di hari Jumat, ritual nyeker dilakukan oleh beberapa saudara kita di Tasikmalaya. Tak ada maksud lain selain dari bergembira bersama. Makna “gembira” nampaknya dewasa ini sukar diraih, apalagi jika kumpul “bersama” lalu mendiskusikan realita sosial-budaya-politik di tengah-tengah kita.

Ketika mengkuti ritual nyeker, saya ingat Mikhail Bakhtin, seorang pemikir yang punya kritik tajam akan modernisme. Kita tahu, modern adalah raksasa kebudayaan yang punya langkah terarah, kalau perlu menjajah, dengan fokus untuk menguasai dunia. Yang mengerikan, modernitas pun bersembunyi di balik kata-kata ajaib: efesiensi, efektifitas, kemudahan, dan yang lainnya, sampai kemanusiaan dan demokrasi. Kita pun terpesona.

Begitu banyak yang disuguhkan modernisme, tapi begitu banyak pula yang direnggutnya. Begitu mewah yang dibangunnya, tapi begitu miris yang dihancurkannya. Begitu syarat makna yang ditawarkannya, tapi tak sedikit tabu yang dilanggarnya. Dalam modernisme, karena pasar dan pencitraan sebagai basis kehidupan, maka yang diraih adalah gaya dan bukan makna, adalah penampilan dan bukan kedalaman, adalah kulit dan bukan isi. Kita pun lebih suka beli Apel merah yang mahal, ketimbang apel hijau Garut yang jauh lebih murah dengan vitamin yang jauh lebih kaya. Karena apa? Karena, apel merah lebih “seksi” dan made in Amerika.

Atau, demi pencitraan, karena saking ingin disebut Kota Islami, kita tulis kantor-kantor pemerintahan dengan tulisan Arab, seakan-akan Tasikmalaya adalah satu propinsi di Timur Tengah. Kita seperti orang kesurupan, lupa akan milik kita sendiri. Untuk melawan itu semua, kata Bakhtin, adalah dengan lelucon. Sebab, leulucon-lah yang bisa menghancurkan semua kenyataan yang ada dalam pikiran. Para nyekeriah pun bercanda dan tertawa.

Tertawa itu sehat, begitu para psikolog kerap berkata. “Jokes are grievances, lelucon adalah keluhan,” ujaran penyair Marshal Mac-Luhan. Sadar atau tak sadar, kita mengeluh kepada beban sebuah realita yang rapuh dan majal. Ketika segala sesuatu mudah dan sudah dijual. Sebelum modernisme datang, yang dijual adalah “benda”, tapi sekarang ini yang dijual adalah “barang”, dalam bahasa Karl Marx – komoditi. “Benda” itu diolah, lalu jadi “barang”. Dan harga “barang” ditentukan oleh “pengolahannya”. Dan, “pengolahan” adalah sesuatu yang abstrak. Jadi, yang dijual pun sebenarnya adalah yang tak bisa ditangkap. Maka tak aneh, jika pada akhirnya, “jabatan dijual”, “kesenian dijual”, “ilmu dijual”, “organisasi dijual”, “pesantren dijual”, bahkan “agama pun dijual”, untuk memuaskan hawa-nafsu. Maka, sekali lalu, kita mengeluh kepada sebuah beban realitas yang majal. Para nyekeriah pun, di satu acara ritualnya, membaca realitas lewat syair dan komedi, puisi dan stand up komedi.

“Kita orang Indonesia, tidak tahu bagaimana menampilkan sebuah realisme,” kembali, satu kritik tajam dari seorang tokoh kesenian kita, Arifin C. Noor. Realisme, atau realitas kita, adalah orang Indonesia, adalah orang Sunda. Nyeker barangkali bukan realitas kebudayaan Sunda, tapi kakek-moyang kita dahulu orang yang seringnya berjalan tanpa alas kaki. Peuperiheun pikiran hese ngabumi, cik suku mah sing bisa ngabumi.

Lihat, bagaimana pikiran para inohong kita, konsep-konsep melangit sampai dibangun tugu-tugu mercusuar dengan dana bergepok-gepok, sementara Kota Tasikmalaya adalah jawara kedua kabupaten/kota termiskin di Jawa Barat. Nyeker pun satu bahasa simbolik dari para aktifis kesenian, untuk segera kembali ke bumi, kembali kepada kenyataan diri.

Menjelang HUT RI ke-71, para nyekeriah membulatkan hati untuk turun kembali ke jalan, kembali bergerombol dengan pusi dan banyolan. Budayawan, seniman, ajengan, pedagang, dosen, guru, mahasiswa dan siapapun, karena ritual ini terbuka untuk umum, akan memeriahkan Hari Kemerdekaan dengan puisi dan banyolan cerdas. Ketimbang acara-acara kebudayaan yang didanai Pemkot, nyekeriah insya allah lebih “membumi”, karena memang tanpa alas kaki. Anggap saja, nyeker menjadi semacam pekik, meminjam bahasa Eric Formm, “revolusi kesadaran”. Revolusi untuk segera kembali ke jati-diri sebagai bangsa.

Lepas dari tafsir apa pun tentang nyeker, yang pasti, ritual ini hanya sekedar ingin bergembira bersama di tengah realitas sosial-budaya-politik kita yang begitu mencemaskan. Maka, esai ini, ingin saya tutup dengan satu penggalan puisi Goethe, “Haruskah siksaan ini merundung, bila akhirnya gembira menggunung?” [ ]

Photo : Dokumentasi SST