Oleh Fauz Noor
Berjalan tanpa alas kaki/ Membiarkan kaki menyentuhnya bumi/ Di tengah pikuk kubudayaan yang hampir mati.
Sore di hari Jumat, ritual nyeker dilakukan oleh beberapa saudara kita di Tasikmalaya. Tak ada maksud lain selain dari bergembira bersama. Makna “gembira” nampaknya dewasa ini sukar diraih, apalagi jika kumpul “bersama” lalu mendiskusikan realita sosial-budaya-politik di tengah-tengah kita.
Ketika mengkuti ritual nyeker, saya ingat Mikhail Bakhtin, seorang pemikir yang punya kritik tajam akan modernisme. Kita tahu, modern adalah raksasa kebudayaan yang punya langkah terarah, kalau perlu menjajah, dengan fokus untuk menguasai dunia. Yang mengerikan, modernitas pun bersembunyi di balik kata-kata ajaib: efesiensi, efektifitas, kemudahan, dan yang lainnya, sampai kemanusiaan dan demokrasi. Kita pun terpesona.
Begitu banyak yang disuguhkan modernisme, tapi begitu banyak pula yang direnggutnya. Begitu mewah yang dibangunnya, tapi begitu miris yang dihancurkannya. Begitu syarat makna yang ditawarkannya, tapi tak sedikit tabu yang dilanggarnya. Dalam modernisme, karena pasar dan pencitraan sebagai basis kehidupan, maka yang diraih adalah gaya dan bukan makna, adalah penampilan dan bukan kedalaman, adalah kulit dan bukan isi. Kita pun lebih suka beli Apel merah yang mahal, ketimbang apel hijau Garut yang jauh lebih murah dengan vitamin yang jauh lebih kaya. Karena apa? Karena, apel merah lebih “seksi” dan made in Amerika.
Atau, demi pencitraan, karena saking ingin disebut Kota Islami, kita tulis kantor-kantor pemerintahan dengan tulisan Arab, seakan-akan Tasikmalaya adalah satu propinsi di Timur Tengah. Kita seperti orang kesurupan, lupa akan milik kita sendiri. Untuk melawan itu semua, kata Bakhtin, adalah dengan lelucon. Sebab, leulucon-lah yang bisa menghancurkan semua kenyataan yang ada dalam pikiran. Para nyekeriah pun bercanda dan tertawa.
Tertawa itu sehat, begitu para psikolog kerap berkata. “Jokes are grievances, lelucon adalah keluhan,” ujaran penyair Marshal Mac-Luhan. Sadar atau tak sadar, kita mengeluh kepada beban sebuah realita yang rapuh dan majal. Ketika segala sesuatu mudah dan sudah dijual. Sebelum modernisme datang, yang dijual adalah “benda”, tapi sekarang ini yang dijual adalah “barang”, dalam bahasa Karl Marx – komoditi. “Benda” itu diolah, lalu jadi “barang”. Dan harga “barang” ditentukan oleh “pengolahannya”. Dan, “pengolahan” adalah sesuatu yang abstrak. Jadi, yang dijual pun sebenarnya adalah yang tak bisa ditangkap. Maka tak aneh, jika pada akhirnya, “jabatan dijual”, “kesenian dijual”, “ilmu dijual”, “organisasi dijual”, “pesantren dijual”, bahkan “agama pun dijual”, untuk memuaskan hawa-nafsu. Maka, sekali lalu, kita mengeluh kepada sebuah beban realitas yang majal. Para nyekeriah pun, di satu acara ritualnya, membaca realitas lewat syair dan komedi, puisi dan stand up komedi.
“Kita orang Indonesia, tidak tahu bagaimana menampilkan sebuah realisme,” kembali, satu kritik tajam dari seorang tokoh kesenian kita, Arifin C. Noor. Realisme, atau realitas kita, adalah orang Indonesia, adalah orang Sunda. Nyeker barangkali bukan realitas kebudayaan Sunda, tapi kakek-moyang kita dahulu orang yang seringnya berjalan tanpa alas kaki. Peuperiheun pikiran hese ngabumi, cik suku mah sing bisa ngabumi.
Lihat, bagaimana pikiran para inohong kita, konsep-konsep melangit sampai dibangun tugu-tugu mercusuar dengan dana bergepok-gepok, sementara Kota Tasikmalaya adalah jawara kedua kabupaten/kota termiskin di Jawa Barat. Nyeker pun satu bahasa simbolik dari para aktifis kesenian, untuk segera kembali ke bumi, kembali kepada kenyataan diri.
Menjelang HUT RI ke-71, para nyekeriah membulatkan hati untuk turun kembali ke jalan, kembali bergerombol dengan pusi dan banyolan. Budayawan, seniman, ajengan, pedagang, dosen, guru, mahasiswa dan siapapun, karena ritual ini terbuka untuk umum, akan memeriahkan Hari Kemerdekaan dengan puisi dan banyolan cerdas. Ketimbang acara-acara kebudayaan yang didanai Pemkot, nyekeriah insya allah lebih “membumi”, karena memang tanpa alas kaki. Anggap saja, nyeker menjadi semacam pekik, meminjam bahasa Eric Formm, “revolusi kesadaran”. Revolusi untuk segera kembali ke jati-diri sebagai bangsa.
Lepas dari tafsir apa pun tentang nyeker, yang pasti, ritual ini hanya sekedar ingin bergembira bersama di tengah realitas sosial-budaya-politik kita yang begitu mencemaskan. Maka, esai ini, ingin saya tutup dengan satu penggalan puisi Goethe, “Haruskah siksaan ini merundung, bila akhirnya gembira menggunung?” [ ]
Sumber Tulisan : https://www.facebook.com/fauz.noor/posts/1266142933395868
Tidak ada komentar:
Posting Komentar