Setelah absen di tahun 2012, Sanggar Sastra Tasik (SST) kembali
akan menyelenggarakan Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2013 pada 10
- 12 Mei 2013
mendatang.di
Gedung Kesenian
Tasikmalaya (GKT) Jl. Lingkar Dadaha No. 18,5 - Kota Tasikmalaya.
TENTANG
PERLOMBAAAN
Lomba terbuka
untuk umum usia 17 tahun ke atas
dengan persyaratan sebagai berikut:
Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di
manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi
KTP atau identitas lainnya.
Calon peserta
mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi
formulir pendaftaran, serta membayar biaya administrasi sebesar : Rp. 35.000,- (tiga
puluh lima ribu rupiah).
Waktu Pendaftaran yakni 1 April 2013 – 9 Mei
2013
Teknikal Meeting 9 Mei 2013 Jam : 14.00 WIB - Selesai
di Gedung Kesenian Tasikmalaya.
Untuk peserta
yang berdomisili di luar alamat sekretariat pendaftaran yang tercantum di
bawah, dapat mendaftarkan diri ke tempat pendaftaran terdekat.
- TASIKMALAYA : Sekretariat
Sanggar Sastra Tasik (SST) Jl.
Argasari No. 22
Kontak Person : Arinda Risa Kamal (083827804659)
- CIAMIS : Bapak Kidung Purnama (081320797616) SMA Negeri 1 Ciamis
- BANDUNG : Sdr. Zulkifli Songyanan
(085323420359) Area Studi dan Apresiasi
Sastra-UPI (ASAS-UPI), Semmi Ikra Anggara (081809663285)
- CIREBON : Wahyudi Yuli (085724556528) Komunitas Rumah Kertas.
- MAJALENGKA : Sdri. Diah Rosdiana, Blok Kenanga RT 7 RW 04, Desa/Kec.
Panyingkiran, Kab. Majalengka (081222155512)
- CIANJUR : Sdr. Ucup Waras (085793926998) Warung Sastra – Universitas
Surya
Kencana
- GARUT : Nero Taofik
Abdillah (081323460864) Komunitas Ngejah
Didi Rahman Photography
(Simpang tiga alun-alun kec. Cibatu
Kontak : 085738446577
Ratna Ayu Budiarti)
Fachroe (082121844927) Poss Theatron
TEKNIS
PERLOMBAAN
- Peserta memilih dua judul puisi yang
telah disediakan panitia dalam bentuk Antologi Puisi Lomba yang bisa diperoleh pada saat
mendaftar/ Teknikal Meeting,
Satu judul puisi dibacakan pada Babak
Penyisihan, dan satu judul yang lainnya dibacakan pada Babak Final jika peserta
bersangkutan berhasil masuk Final. Jadi, baik di Babak Penyisihan maupun di
Final, peserta hanya membacakan satu buah puisi yang berbeda.
Adapun
puisi-puisi yang wajib dibawakan peserta tersebut antara lain:
- Hanna
Fransisca PADA
SUATU HARI
- Yusran Arifin GAUN BORDIR
- Joko Pinurbo KALVARI
- Taufiq Ismail AKU
BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI
- Rendra DI
MEJA MAKAN
- Sutardji Calzoum Bachri PARA
PEMINUM
- Acep Zamzam Noor LAGU
BULAN MEI
- Sarabunis Mubarok TULISAN
PADA PETA
- Irvan
Mulyadie PALESTINA, MELANGGAM LUKA
- Juni
Zami AN AFTERNOON
- Juniarso
Ridwan LAUT MENDERA
- Syahreza
Faisal DALEM
CIKUNDUL
- Bode Riswandi BUAT
ANNA POLITKOVSKAYA
Nina Minareli LUKISAN LAUT
- Nazarudin Azhar NOCTURNO, 2
Amang
Berdaulat PESTA TABUR BUNGA
SEBUAH UPAYA MEMBUMIKAN PUISI
LOMBA
Baca Puisi
Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih membumikan puisi ke
tengah-tengah masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah komitmen yang tetap
dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya pada paruh akhir tahun 1996
silam. SST merupakan satu-satunya komunitas sastra di Tasikmalaya yang secara
khusus bergelut di bidang sastra, terutama puisi. Meski tidak secara khusus
menggarap pelatihan baca puisi – sebab lebih cenderung menjadi laboratorium
penulisan puisi bagi para peminat serius untuk menulis puisi, SST
berkepentingan untuk memetakan bibit-bibit pembaca puisi yang baik. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan penyelenggaraan lomba seperti
ini.
Kami
melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan lomba seperti ini. Betapa di
tengah-tengah “terasingnya” puisi bagi sebagian besar masyarakat kita, ternyata
selalu saja terdapat pembaca puisi yang baik bahkan sangat baik, yang – tidak
saja mampu memperlihatkan interpretasi yang benar terhadap teks puisi yang
dibacanya, melainkan juga mampu menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang
memikat ketika tampil di atas pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa
hidup dan sangat menarik.
Secara teks,
puisi memang hanyalah benda mati yang mungkin sulit untuk dipahami atau
dinikmati oleh sebagian besar orang. Maka tugas pembaca puisilah untuk
menghidupkan dan menyampaikan pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya
kepada pendengar atau penonton.
Lewat pembacaan
yang baik, puisi seolah menjadi benda hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi
tontonan yang asyik dan nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut
atau musik pop, umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah sangat
kontemplatif dan bahkan cukup inspiratif jadinya. Pada gilirannya, mentalitas
dan ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas
Lomba Baca Puisi sebagai media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu
memancing perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik lebih jauh
kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak diselenggarakan oleh banyak
kalangan secara terus-menerus, bisa jadi katup “alienasi” puisi dalam kehidupan
masyarakat kita, perlahan namun pasti, akan terbuka dengan sendirinya. Itulah
barangkali yang senantiasa dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik atau mungkin
oleh kita semua.
Lewat Lomba Baca
Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan mencerahkan hati. Ah, semoga saja ini
tidak sekedar sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji, sebab kami bukan
politisi yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa bukti. Sehingga, bisa jadi
benar bahwa ketika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisilah yang akan
membersihkannya. Demikian sebagaimana yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.
Selamat
berlomba. Merdeka! (*)
SANGGAR SASTRA TASIK (SST)
“ LAGU BULAN MEI ”
ANTOLOGI PUISI LBP SE-JAWA BARAT SST 2013
Hanna
Fransisca
PADA SUATU HARI
Adakah
nyanyi Hutan Bambu* sampai padamu?
Telah
kuputuskan menunda hati pada embun pucuk pagi.
Sebelum
burung tiba, dan angin menjatuhkan derainya
pada
tanah yang mengekalkan sepi.
Maka
dengarkan suara hati sebelum pergi.
Sebab
telah kularang siapapun menjelma burung. Kutolak
serta
para
pemanggil angin. Lantaran embun
terlanjur
jatuh menjadi batu, adalah cintaku
yang
terus menunggu.
Kaulihat
malaikat menuruni tangga langit,
di
malam udara, membawa embun
dan
menidurkan aku di sini. Pada suatu hari.
Menunggu
hangat langkahmu
tiba
di sini.
Pada
suatu hari. Di pucuk bambu.
Dari
sepi ke sunyi.
Dari
angin ke bunyi.
Menyeru
deru.
Sebutir
debu.
Jakarta, Agustus
2011
Yusran Arifin
GAUN
BORDIR
Seperti deru juki mimpimu berlari kencang sekali
Helai benang juga lembar nasibmu yang terang itu kau bentang
Dari tiang pikiran hingga ke tiang-tiang tak terbilang
Jumlahnya. Hidup adalah bentangan mimpi dan harapan-harapan
Suci, jeritmu dengan hati panas seperti mesin yang kehilangan
minyak
Pelumas. Kau terus berlari mencelupi waktumu yang singkat itu
Dengan warna-warna pelangi. Tak juga kau berhenti
Masa depanmu adalah riuh pasar yang tak henti kau perlebar
Hingga kampung-kampung telah lama kau ratakan.Mirip barbar
Sebelah dari madrasah juga selasar dari mushola yang terbelah
Di hatimu, di samping rumah kontrakan itu telah lama kau
Sewakan, jadi tempat
pelelangan. Segala yang ada dan kau punya
Kau jual-belikan dengan harga menyedihkan. Kau jual bordir
Muliamu. Kau tukar gaun
abadimu dengan kesementaraan
2013
Joko
Pinurbo
KALVARI
Hari
sudah petang ketika maut tiba di ranjang
Orang-orang
partai yang mengantarnya ke situ
sudah
bubar, bubar bersama para serdadu
yang
mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan
membuang tubuhnya tadi siang.
Hanya
ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan
menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa,
belum selesai. Entah kapan saya sampai.”
Hanya
ia yang tawakal
menemani
ajal,
menyiapkan
pembaringan
buat
tidur seorang pecundang:
warga
tanpa Negara, tanpa agama.
Hanya
ia yang mendengar sekaratnya.
“Telah
kuminum anggur
dari
darah yang mancur.
Telah
kucercap luka
pada
lambung yang lapa.
Di
tubuh Tuhan kuziarahi
peta
negeri yang hancur.”
Maut
sudah kosong
ketika
mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya
ada seorang perempuan
sedang
membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia
sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan
kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”
1998
Taufiq
Ismail
AKU BELUM BISA
MENYEBUTMU LAGI
Ya,
aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam
surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali
seakan sebuah janji diikrarkan
Apa
lagi yang dapat kita ucapkan
Seperti
dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan
daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun
asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara
kemarau, lunglai dan teramat pelahan
Di
atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar
di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan
sekian ratus senja yang kucatat jadi malam
Kabut
pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap
air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak
sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh
namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini
Pada
suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di
titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di
atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian
ribu senja kucatat jadi malam
1964
Rendra
DI MEJA MAKAN
Ia
makan nasi dan isi hati
pada
mulut terkunyah duka
tatapan
matanya pada lain sisi meja
lelaki
muda yang dirasa
tidak
lagi dimilikinya.
Ruang
diributi jerit dada
Sambal
tomat pada mata
meleleh
air racun dosa.
Dipeluknya
duka erat-erat
dikurung
pada bisu mulut
dan
mata pijar warna kesumba
Lelaki
depannya mengisar hati
sudah lama.
Terungkap
rahasia diperam rasa
terkunci
pintu hati, hilang kuncinya
sudah lama.
Ia
makan nasi dan isi hati
pada
mulut terkunyah duka
memisah
sudah sebagian nyawanya
di
hati ia duduk atas keranda.
Lalu
ditutup matanya gabak
gambaran
yang digenggam olehnya:
lelaki
itu terhantar di lantai kamar
pisau
tertancap pada punggungnya.
Sutardji
Calzoum Bachri
PARA PEMINUM
di
lereng-lereng
para
peminum
mendaki
gunung mabuk
kadang
mereka terpeleset
jatuh
dan
mendaki lagi
memetik
bulan
dipuncak
mereka
oleng
tapi
mereka bilang
-kami
takkan karam
dalam
laut bulan-
mereka
nyanyi-nyanyi
jatuh
dan
mendaki lagi
di
puncak gunung mabuk
mereka
berhasil memetik bulan
mereka
menyimpan bulan
dan
bulan menyimpan mereka
dipuncak
semuanya
diam dan tersimpan
1976-1979
Acep
Zamzam Noor
LAGU BULAN MEI
Bukit-bukit
kembali menggeliat
Langit
menanggalkan mantel tebalnya
Seperti
perempuan yang terlentang di pantai
Mandi
cahaya. Kuhirup birahi musim semi
Dari
daun-daun dan rumputan baru
Kureguk
anggur dari gelasmu yang penuh
Dan
kita berada di hari lain
Di
antara hari-hari yang memberat
Oleh
muatan rindu
Aku
membaca lagi
Buku-buku
lama yang tertimbun salju
Kantuk
dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan
aku menemukan pir, apel dan jeruk segar
Dari
bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan
tanganku pada matahari
Yang
menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu
cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan
lidahnya yang hangat
Sebuah
sungai di pahamu
Berkelok-kelok
dengan riang
Menyirami
rumpun bunga dan sayuran
Tangannya
yang panjang bahkan mencapai
Altar
gereja. Kulihat orang-orang berdoa
Dengan
anjing-anjing mereka yang setia
Orang-orang
bernyanyi dan berciuman
Seperti
burung-burung merpati
Di
bawah langit yang terang
Bersama
sungai langkahku mengalir
Menyusuri
tubuhmu yang licin
Kulewati
puing-puing musim dingin
Seperti
melewati hari kemarin yang kekal
Dari
sekedar bercak merah di lehermu
Atau
tumpahan anggur di lantai --
Namun
kita akan tetap kehilangan juga
Seperti
pohon yang ditinggalkan daun-daunnya
Ketika
musim gugur tiba
1992
Sarabunis
Mubarok
TULISAN PADA
PETA
aku
mencerap risau
di
pantai-pantai di pulau-pulau
di
selat-selat yang dihimpit hutan bakau
keringat
nelayan masih mengasinkan lautan
saat
hati orang-orang kehabisan garam
di
kepal-kepal tangan di kecambah pikiran
di
aliran darah anak-anak negeri yang deras
aku
harus mencerap warna-warna kusam
mengapa
negeri yang digurat kesuburan
membiakkan
begitu banyak kambing hitam
gunung-gunung
yang disandera di barat
sungai-sungai
yang mengairmata di timur
kampung
dan kota yang saling memburu
semua
mengukir luka di tubuhku
lalu
aku mencerap rahasia
di
sulur-sulur cuaca dan hawa tropika
di
senyum sejuk alam khatulistiwa
aku
mencerap hasrat kembara
melebihi
segala yang kasat mata
tapi
di negeri yang sulit dibaca
minyak
bagi remang adalah luka
haruskah
aku menyulut api
meski
membakar diri sendiri
2006
Juni
Zami
AN AFTERNOON
Pada sepasang mata angsa
Kulihat senja yang terjaga
Di bibir telaga, seorang wanita
Mencelupkan sepasang kakinya
Sambil meraba beberapa bait
Sajak Lorca: tentang para pemanah
Yang buta. Souvenir asmara. Juga cinta
Yang mengenalkan kegembiraan
Dan rasa tunggara
Sementara di atas sebuah keletihan
Kuingat sepasang lesung pipimu
Hulu lahir juga arah hilir kematianku
Semakin sering kau tersenyum
Semakin kukenal kamar awal
Dan pembaringan yang kekal itu
Sebab keletihan, barangkali sebuah
Arloji yang dilingkarkan ibu dahulu
Pada pergelangan tanganku. Sejumlah
Peristiwa seperti juga namamu
Aku tuliskan. Semata agar bisa
Kukosongkan seluruh ruang dari
Ingatan
Seperti senja begitu juga tubuh seorang
Wanita buta yang perlahan-lahan malam
Sepasang angsa seperti juga hari-hari api
Dan kata-kata ketika bukit-bukit tenggelam
2011
Irvan
Mulyadie
PALESTINA, MELANGGAM LUKA
………………….
Di balik mimpi,
lukisan perang
Mengikis hati para pengungsi
Yang tergolek di tenda-tenda
Di sepanjang perbatasan kemanusiaan
Dengarlah desing peluru!
Saban hari, suaranya begitu parau
Dan aku ingat hari itu:
Anak-anak takkan bisa bernyanyi lagi
Mengeja peta dan shalawat
Yang setia melanggam luka
Kepada saban raungan mortar
Angin telah menasbihkan kematian
Di padang debu penuh sembilu
Hiruplah bau darah, asap mesiu!
Atau lihat sobekan daging yang terpanggang
Pada tubuh perempuan hamil muda
Di Gaza, segala nampak sederhana
Genosida!
………………….
………………….
Ada sujud yang terhenti
Di hari Jumat penuh tragedi
Lalu malam merayakan kematian
Di lorong-lorong persembunyian
Ketika rudal ditembakkan sembarang arah
Dan mendarat dalam buku-buku sejarah
Tapi takkan terbaca olehmu, anakku
Bagaimana bayi-bayi itu menemu ajal
Saat maut menyarangkan banyak peluru
Ke tanah suci yang dijanjikan
Ya, di sepanjang sungai Tigris
Beribu nyawa mengalirkan deras tangis
2009
Juniarso
Ridwan
LAUT MENDERA
di
laut ini tak ada tempat ombak mendarat,
cinta
pun mengembara dengan sayap perkasa,
orang-orang
menggapai karang, menorehkan kerinduan
dengan
cipratan air. Ribuan perahu, dengan cahaya lilin,
mengelilingi
pulau-pulau tak bernama:
mencari
persinggahan.
nelayan
segera mendayung waktu, mengarungi lengkung
langit,
membelah perasaan untuk berbagi tempat
dan
menebar jala di antara lelehan parfum.
Seperti
sayur-mayur atau hasil bumi diperdagangkan,
kenikmatanpun
menjadi barang
rebutan;
dikemas dengan apik
sesuai
hitungan selera.
kukitari
gunung-gunung bersalju, sambil menunggu
sungai-sungai
terbentuk dalam kepala,
menghanyutkan
hutan belantara.
Lalu
di palung lautlah ajal menunggu setiap orang
dengan
penuh ramah: “selamat datang para undangan
yang
patuh,” ujar serbuk sianida berbasa-basi.
1996
Syahreza
Faisal
DALEM CIKUNDUL
dengan
meninggalkan Sagalaherang --pondok tentram
tempat
syamsi meretas kabut pagi setiap hari
ia
merapikan keyakinan memilih menjadi petapa paling gigih lagi.
ia
tak pernah mengira kelak menggurat silsilah kampung mukimnya
di
ujung kota paling barat. di mana ia jatuhkan kakinya
di
sanalah mengalir mata air pertama.
semai
yang ia taburkan di sepanjang bantaran sungai
tumbuh
dari hujan berkah dan suluran sumber Cikahuripan.
di
mana segala binatang akan minum dari mulutnya
untuk
melepas dahaga membasuh luka pula
yang
didapati mereka dari lebat rimba hutan.
ia
menikahi istri dari kaum gaib semesta
dan
mengutus ketiga anaknya agar bersemayam segera
ke
tiap pundak dan gua gunung
:
Suryakencana – sang penunggang kuda hitam bijaksana
Nyi
Mas Kara yang memesona dan Andaka sang penangkal bala.
jadilah
mereka selalu tersebut dalam tembang doa
terurai
mesra dalam syair bujangga.
tapi
kini ia tinggallah makam terkenang hanya sekadar ruap cendana
sisa
jisimnya yang sesekali dibawa pembakaran pada selaka.
para
penziarah mendaki ke atas 170 anak tangga
lewat
ayat yang terucap sama banyaknya.
mereka
menjadikan ia sekadar jembatan mustajab doa.
demi
jodoh fana, demi pangkat belaka
dan
demi muslihat nafsu lainnya saja.
ia
terkubur seperti ingatan tentang bayi kota yang terlantar.
tiba-tiba
suara ia berdenting pada rentang kawat kecapi
rajah
yang ditembangkan suara parau lelaki tua
di
atas sunyi purba pendapa kota.
2012
Bode Riswandi
BUAT ANNA
POLITKOVSKAYA
Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, tentang
Nasib serta takdir mereka yang bermukim
Di lobang senjata
Di Chechnya kematian itu mudah tumbuh
Bagaikan rumput, katamu. Berlapis-lapis
Ketakutan menjalar di dinding dan di kanal
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun
Tidak sekelabu rambutmu yang menusuk
Banar peristiwa
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari
Lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda
Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya
Lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju
Tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu
Dan beratus pasang biji mata digiring ke arahmu
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari
Dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit
Kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana
2009
Amang
Berdaulat
PESTA TABUR
BUNGA
Seperti
engkau yang bertengger di menara sana
Aku
ingin mencatat kesaksian tiang bendera
Kemarahan
puntung rokok
Tangis
botol aqua
Ketika
bisu pagar
Tak
memuaskan slogan-slogan spanduk reformasi
Adalah
ringkik michrophone yang
mencak-mencak
Manakala
debu kusi-kursi
Menceritakan
sobekan arsip
Yang
tertimbun dalam peti kemas meja sidang
Menjadi
santapan kutu loncat
Dan
sarang para kecoa
Di
mana tikus-tikus
Merayakan
pesta tabur bunga
Sementara
semut-semut merapatkan barisan
Menyatroni
kambing hitam pencuri gula-gula
Sambil
menyeret cecurut
Yang
kedapatan menimbun ransum
Jarum
jam telah lupa akan arah angka-angkanya
Selagi
hujan semburan ludah
Membanjiri
perhelatan adu urat leher
Di
mana setiap kursi
Memacu
mulutnya hingga berbusa
Berebut
seonggok racun
Yang
disisakan ular beludak
Lalat-lalat
malah berpesta
Menjilati
luka segar anak toke
Yang
tersisa kini
Tinggal
bau dupa
Di
mana asap kemenyan
Menggiring
doa ke liang lahat
26 Desember 1998
Nazarudin
Azhar
NOCTURNO, 2
dia,
lelaki berjubah hujan
di negeri hijau kemalangan
seribu
gang melingkar
rumah adalah rimba masing-masing
seorang gadis mengiris lengannya
mulutnya telah lama hilang
di dalam sebuah kerangkeng
dia
lelaki berjubah hujan
dengan sisa seribu pelukan
"kau
tahu, racun dalam nadi
limbah hitam dalam mimpi..."
gadis
dengan separuh darah
hari-hari digelapkan
dalam sebuah kamar perkabungan
tak
ada kisah cinta
atau lagu pop muntahan kesialan
di
negeri ini mereka dipertautkan
oleh sepasang sayap
dan kelam
2011
Nina Minareli
LUKISAN LAUT
Laut meluap dari kebisuan panjang matamu
Minitipkan cuaca bagi hujan yang menjelma sangkar
Arah mata angin, biduk-biduk kecil, karang-karang
Pecahan cahaya ombak melingkar hening
Senja tenggelam, burung-burung hitam
Mengembarai sudut-sudut tabir warna musim
Laut adalah gemuruh kematian biru
Catatan rahasia cermin langit yang ragu dan bisu
2002