TENTANG PERLOMBAAN
Lomba terbuka untuk umum usia 17+ dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya.
2. Calon peserta mendaftar langsung ke
tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi formulir pendaftaran.
3. Peserta memilih satu
judul untuk dibacakan pada babak penyisihan. Dan satu judul puisi yang lain (judul puisi berbeda dengan puisi pada babak penyisihan)
untuk dibacakan pada babak final (jika masuk final).
4. Pendaftaran LBP SST Se-Jabar 2014 ini mulai dibuka pada :
19 Oktober s.d. 24 November 2014 .
5. Biaya pendaftaran Rp. 35.000,-
6. Teknikal Miting
Hari/Waktu :
Kamis, tanggal 27 November 2014 jam 13.00 WIB -selesai.
Tempat : Ruang Aula Dinas Pendiikan Kota
Tasikmalaya (kompleks Perkantoran)
Jl. Ir. H. Juanda, Kota Tasikmalaya.
7. Pelaksanaan lomba adalah 29-30 November 2014 di Eks.Gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya
Jl.Pemuda No.1 Kota Tasikmalaya (seberang Mesjid Agung Kota Tasikmalaya).
8. Kejuaraan.
Lomba Baca Puisi ini akan memperebutkan gelar Juara 1-3, Juara Harapan 1-3 dan Juara Favorit
dengan hadiah Piala, uang pembinaan, piagam penghargaan, dan bingkisan.
9. Juri
Dewan Juri dipilih dari kalangan sastrawan dan
deklamator yang sudah tidak asing lagi di jagat
sastra Indonesia, yakni
sastra Indonesia, yakni
a. Beni Setia (Caruban, Jawa
Timur),
b. Arief Joko Wicaksono (Jakarta), dan
c. Sosiawan Leak (Solo).
-----------------------------------------------------------
Irvan Mulyadie
TASIKMALAYA
I
:Kota Penyair
:Kota Penyair
Inilah kota paling purnama
Bagi saban-saban jiwa
Yang tak pernah ditidurkan bahasa cinta
Bahkan pada malam yang rapuh
Di mana keluh para pelacur
Begitu dingin mengalirkan selarut doa
Untuk saban perkampungan dan pesantren
Yang tak pernah bisa lepas
Mengisi masjid dengan salat berjamaah
Bagi saban-saban jiwa
Yang tak pernah ditidurkan bahasa cinta
Bahkan pada malam yang rapuh
Di mana keluh para pelacur
Begitu dingin mengalirkan selarut doa
Untuk saban perkampungan dan pesantren
Yang tak pernah bisa lepas
Mengisi masjid dengan salat berjamaah
Sementara pawang hujan tak pernah henti
Menafsirkan gerak cuaca
Bagi mimpi yang menjauh
Dari lapang ke lapang dan alun-alun
Di mana para penguasa berebut sima
Meresmikan pancuran darah bagi rakyatnya
Menafsirkan gerak cuaca
Bagi mimpi yang menjauh
Dari lapang ke lapang dan alun-alun
Di mana para penguasa berebut sima
Meresmikan pancuran darah bagi rakyatnya
Di sinilah penyair lahir
Dengan pena-pena sembilu di mulutnya
Puisi-puisi menjelma sihir
Seperti takdir
Yang mengeja reruntuhan suara petir
Dan menulis kisah-kisah paling satir
Dengan pena-pena sembilu di mulutnya
Puisi-puisi menjelma sihir
Seperti takdir
Yang mengeja reruntuhan suara petir
Dan menulis kisah-kisah paling satir
2011
-----------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------
Amang S Hidayat
LUKISAN
WAKTU
Wahai engkau yang dipersunting matahari
Setelah cadar kabutmu memudar
Bayangan pelangi menjadi cermin gerimis
Yang membias ke tangga langit
Di mana rembulan memujamu ketika sunyi memeluknya
Setelah cadar kabutmu memudar
Bayangan pelangi menjadi cermin gerimis
Yang membias ke tangga langit
Di mana rembulan memujamu ketika sunyi memeluknya
Wahai engkau pertapa yang memuja perhiasan
kasat mata
Akankah kaudengar rintih hujan airmata bumi
Seriang senja mewartakan ramah rangkum cuaca
Atau raung gemuruh guntur menghardik tangis
Hingga menjelma penjara
Bagi gemericik bening di belantara hening
Akankah kaudengar rintih hujan airmata bumi
Seriang senja mewartakan ramah rangkum cuaca
Atau raung gemuruh guntur menghardik tangis
Hingga menjelma penjara
Bagi gemericik bening di belantara hening
Kami yang senantiasa duduk
Dijilat tajam matamu
Hangus ditelan kemarahan waktu
Ketika kausulap kegetiran itu
Menjadi perisai kehancuran tradisi
Laksana mengusir debu di mahkota singgasanamu
Dijilat tajam matamu
Hangus ditelan kemarahan waktu
Ketika kausulap kegetiran itu
Menjadi perisai kehancuran tradisi
Laksana mengusir debu di mahkota singgasanamu
Hari ini wajah kita mengusam
Aib menutup anggun raut wajahmu
Dan inilah produk yang dibiaskan kehancuran itu
Barisan para petualang
Berebut puing-puing mimpi tanah merdeka
Aib menutup anggun raut wajahmu
Dan inilah produk yang dibiaskan kehancuran itu
Barisan para petualang
Berebut puing-puing mimpi tanah merdeka
1999
----------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------
Saeful Badar
DI
DENGUS-DENGUS MALAM
Di dengus-dengus malam di remang-remang
syahwat bulan
Umurku melebur dalam kubur peradaban yang durhaka
Di geram-geram rindu di pekat-pekat birahi dendam
Cintaku lamur di antara geliat ingkar dan tafakur
Umurku melebur dalam kubur peradaban yang durhaka
Di geram-geram rindu di pekat-pekat birahi dendam
Cintaku lamur di antara geliat ingkar dan tafakur
Beri daku segar musim baru, Tuhanku
Sebelum kuikhlaskan kekalahan demi kekalahanku
Andai tak kuat lagi jasadku menyangga nafsu
Maka beri daku tidur panjang dalam khalwat angin dan batu-batu
Sebelum kuikhlaskan kekalahan demi kekalahanku
Andai tak kuat lagi jasadku menyangga nafsu
Maka beri daku tidur panjang dalam khalwat angin dan batu-batu
Di dengus-dengus malam di syahwat-syahwat
bulan
Rohku mengembara mencari jejak-jejak waktu
Di batu-batu bengal sisa-sisa umurku berabad lalu
Rohku mengembara mencari jejak-jejak waktu
Di batu-batu bengal sisa-sisa umurku berabad lalu
Di jejak-jejak bulan di bayang-bayang gulita
malam
Jasadku melayang di kehampaan musim tanpa cinta
Maka rohku pun terhuyung seperti adam terusir dari cinta hawa
Jasadku melayang di kehampaan musim tanpa cinta
Maka rohku pun terhuyung seperti adam terusir dari cinta hawa
2007
---------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------
Acep Zamzam Noor
JALAN
MENUJU RUMAHMU
Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar
Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar
Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan
bicara
Pada batu karang.Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis.Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan
Pada batu karang.Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis.Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan
Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar,
kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku.Semuanya berterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu.Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat.Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali
Menuliskan igauanku.Semuanya berterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu.Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat.Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali
Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang
indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi
1986
------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------
Nina Minareli
DI
KEDALAMAN DADAMU
Saat aku bersandar di kedalaman dadamu
Ada gemuruh angin yang menggoncangkan waktu
Ada jalan ke tengah hutan yang tak pernah tergambarkan
Dan masih ada banyak malam yang tak pernah selesai
Sementara di dekat pelabuhan kecil itu
Masih sempat kupandang lambaian bendera
Yang dipoles warna jingga ke angkasa
Seperti kata-kata ombak pun mulai menjatuhkan suara
Menelan butiran pasir dan airmata
Yang senantiasa dihantam peperangan dan cuaca
Ada gemuruh angin yang menggoncangkan waktu
Ada jalan ke tengah hutan yang tak pernah tergambarkan
Dan masih ada banyak malam yang tak pernah selesai
Sementara di dekat pelabuhan kecil itu
Masih sempat kupandang lambaian bendera
Yang dipoles warna jingga ke angkasa
Seperti kata-kata ombak pun mulai menjatuhkan suara
Menelan butiran pasir dan airmata
Yang senantiasa dihantam peperangan dan cuaca
Wahai engkau yang selalu bosan disekat rembulan
Dalam kesendirian tongkat langit tinggal satu-satunya senjata
Dalam kedukaan tinggalah kata-kata sebagai tenaga
Dalam kesengsaraan hanya irama musim yang akan
Menyembulkan jamur kesabaran dari hujan dan pancaroba
Engkau yang tak pernah bosan di rumah cahaya
Masuklah dalam kemabukanku
Atau pergi dan tinjulah aku ke tengah orang-orang
Yang lapar dan haus itu
Lalu lemparlah aku pada keikhlasan bumi
Dari negeri yang terbakar ini
Dalam kesendirian tongkat langit tinggal satu-satunya senjata
Dalam kedukaan tinggalah kata-kata sebagai tenaga
Dalam kesengsaraan hanya irama musim yang akan
Menyembulkan jamur kesabaran dari hujan dan pancaroba
Engkau yang tak pernah bosan di rumah cahaya
Masuklah dalam kemabukanku
Atau pergi dan tinjulah aku ke tengah orang-orang
Yang lapar dan haus itu
Lalu lemparlah aku pada keikhlasan bumi
Dari negeri yang terbakar ini
1998
--------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------
Yusran Arifin
SYAIR
BATU AKIK
Tak penting lagi kau lahir di mana
Di sungai deras atau pun di lereng-lereng cadas
Kau tambang hatimu, pikirmu juga usiamu
Hidupmu tiada lebih baik
Pun tak lebih buruk dari yang lain
Di sungai deras atau pun di lereng-lereng cadas
Kau tambang hatimu, pikirmu juga usiamu
Hidupmu tiada lebih baik
Pun tak lebih buruk dari yang lain
Andai kau tak mengasah tubuhmu
Sesungguh hati, kilaumu takkan pernah berarti
Kau hanya menghuni riuh kali
Tiang jembatan atau hanya berserakan
Di jalan setapak kehidupan
Sesungguh hati, kilaumu takkan pernah berarti
Kau hanya menghuni riuh kali
Tiang jembatan atau hanya berserakan
Di jalan setapak kehidupan
Hidupmu penyair, adalah ketulusan
Cinta yang kaupendam dan digosokkan
Bertahun-tahun perburuan, penambangan
Ritual-ritual dan pertapaan
Atau mungkin kesia-siaan
Cinta yang kaupendam dan digosokkan
Bertahun-tahun perburuan, penambangan
Ritual-ritual dan pertapaan
Atau mungkin kesia-siaan
2012
-----------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------
Zulkifli Songyanan
DI
KAMPUNG NAGA
Dari tangga yang menghubungkan
Keluhuran nama dan kerendahan hatimu
Aku masih memaksakan senyum sambil berusaha
Menggali segala rahasia yang kautimbun
Di balik atap-atap rumbia.
Keluhuran nama dan kerendahan hatimu
Aku masih memaksakan senyum sambil berusaha
Menggali segala rahasia yang kautimbun
Di balik atap-atap rumbia.
Aku berlari kemudian kulucuti semua kata-kata
Yang ditawan ketidakpastian.Akar-akar pohon menjuntai
Di selatan, gelisahku pecah dan menjelma
Batu-batu yang sabar disengat matahari
Batu-batu yang tegar diseret arus kali.
Yang ditawan ketidakpastian.Akar-akar pohon menjuntai
Di selatan, gelisahku pecah dan menjelma
Batu-batu yang sabar disengat matahari
Batu-batu yang tegar diseret arus kali.
Kampung Naga, di lesung pipimu seorang gadis
manis
Menganyam bambu dengan harapan ia bisa memindahkan
Kota ke matanya. Aku cemburu.Kucuri pohon-pohon rimbun
Dan kusembunyikan dalam hatiku.
Barangkali keteduhan akan tumbuh di situ.
Menganyam bambu dengan harapan ia bisa memindahkan
Kota ke matanya. Aku cemburu.Kucuri pohon-pohon rimbun
Dan kusembunyikan dalam hatiku.
Barangkali keteduhan akan tumbuh di situ.
Siang semakin menyala aku sedikit lebih gila.
Kusaksikan ibu-ibu perkasa menggendong mimpi
Di pundaknya sedang para lelaki memikul hasil panen
Entah ke mana.Aku tertegun memahami hakikat kesederhanaan
Yang masih bernyawa di sini.
Kusaksikan ibu-ibu perkasa menggendong mimpi
Di pundaknya sedang para lelaki memikul hasil panen
Entah ke mana.Aku tertegun memahami hakikat kesederhanaan
Yang masih bernyawa di sini.
2007
----------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------
Jun Nizami
DI
SAMARANG
Alamanda, alamanda, memandangmu dari
jendela yang terbuka.Sepagi ini, kenangan
merambat seperti waktu, seperti tetumbuhan
labu di dadamu.Kau memanggil, sedang aku
mendekap tubuh sendiri yang menggigil.
jendela yang terbuka.Sepagi ini, kenangan
merambat seperti waktu, seperti tetumbuhan
labu di dadamu.Kau memanggil, sedang aku
mendekap tubuh sendiri yang menggigil.
Alamanda, alamanda, rumah-rumah dihantam
kabut, sedang aku dikepung gelisah yang tak
juga surut.Samarang yang dingin, siapa yang
menari di luka angin. Tanah adalah rahasia,
bagi hektar kentang yang membaca cuaca.
kabut, sedang aku dikepung gelisah yang tak
juga surut.Samarang yang dingin, siapa yang
menari di luka angin. Tanah adalah rahasia,
bagi hektar kentang yang membaca cuaca.
Alamanda dan selukis bukit.Adakah yang
lebih bergembira selain petani, yang memanggul
sekarung kol, di musim yang tak terduga ini.
Dunia yang pahit! Sementara dadaku yang
menampung seluruh kata pamit, masih saja
memuja rasa sakit.
lebih bergembira selain petani, yang memanggul
sekarung kol, di musim yang tak terduga ini.
Dunia yang pahit! Sementara dadaku yang
menampung seluruh kata pamit, masih saja
memuja rasa sakit.
------------------------------------------------------------
Ratna Ayu Budhiarti
DI
BAWAH MATAHARI
Mari duduk di sini, di sebelahku,
Kita bercerita tentang pagi yang cerah
Dan udara segar di pegunungan
Juga tentang dua pesawat yang berpapasan di udara
-Barangkali mereka mengawasi kita-
Kita bercerita tentang pagi yang cerah
Dan udara segar di pegunungan
Juga tentang dua pesawat yang berpapasan di udara
-Barangkali mereka mengawasi kita-
Mari dengar kersik angin di daun cemara
Bunga rumput yang menjulang
Menari mengiringi irama cinta yang riang
Bunga rumput yang menjulang
Menari mengiringi irama cinta yang riang
Ada sehamparan rumah dan gedung tinggi
menjulang di bawah sana
Di kaki bukit dan lembah yang tadi kita lewati
Entah di tikungan ke berapa deru kata-kata menjadi deraian tawa
Di kaki bukit dan lembah yang tadi kita lewati
Entah di tikungan ke berapa deru kata-kata menjadi deraian tawa
Saat langit terang, di lapangan rumput yang
lengang
Dua pasang mata mengisyaratkan penyatuan.
Dua pasang mata mengisyaratkan penyatuan.
Aku mencintai pagi, ucapmu dekat di telingaku
Saat semua suara tak lagi ada,
Selain kesiur angin dan nafas kita
Dan semesta yang sedang bekerja.
Saat semua suara tak lagi ada,
Selain kesiur angin dan nafas kita
Dan semesta yang sedang bekerja.
2013
--------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------
Soni Farid Maulana
GORESAN
ANGIN
Inilah kenyataan itu: barik-barik sunyi,
Goresan angin pada debur ombak, dan lengkung
Langit dan ruh yang luruh dalam tubuh,
Serta petikan mawar juga kenanga dan cempaka
Yang kautabur di tanah itu.
Goresan angin pada debur ombak, dan lengkung
Langit dan ruh yang luruh dalam tubuh,
Serta petikan mawar juga kenanga dan cempaka
Yang kautabur di tanah itu.
Hanya tanah, selalu tanah dan bahkan
Melulu tanah yang kelak memeluk ini tubuh
-- setelah ruh terbang
Bagai burung-burung Attar dan waktu
Ke waktu mencari alifNya yang cerlang
Melulu tanah yang kelak memeluk ini tubuh
-- setelah ruh terbang
Bagai burung-burung Attar dan waktu
Ke waktu mencari alifNya yang cerlang
Sekali lagi, hanya tanah dan cacing hitam
Di kegelapan.Batu-batu
Juga setumpuk papan, yang dipotong
Dengan ukuran tertentu.
Di kegelapan.Batu-batu
Juga setumpuk papan, yang dipotong
Dengan ukuran tertentu.
Inilah kenyataan itu – tubuh lusuh,
Yang berair dan bernanah itu
Disingkirkan dari ruang tamu
Juga dari ranjang tempatmu
Bermimpi dan bercinta
Yang berair dan bernanah itu
Disingkirkan dari ruang tamu
Juga dari ranjang tempatmu
Bermimpi dan bercinta
1996
--------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------
Ahmad Faisal Imron
KOTA
TERAKHIR
inilah kota terakhir
tapi tinggal dingin, sisa abu pembakaran
aroma kemenyan, piano tua, tekstur batu
patung babi dan sebuah papilyun masa tuamu
tapi tinggal dingin, sisa abu pembakaran
aroma kemenyan, piano tua, tekstur batu
patung babi dan sebuah papilyun masa tuamu
kau nampak seperti pengamen yang kelelahan
malam itu tak ada hujan juga petir
yang kini menyerupai rambut dan alis matamu
di tahun 1344, di kota terakhir bagimu
setelah bertahun-tahun kau memeras air minum
dari seribu sumur yang memabukkan
setelah menjelajahi pulau-pulau dan menjadi seribu suku
kau mungkin hanya dapat merasakan
dingin dan keheningan ini adalah hakikat dirimu
yang kini menyerupai rambut dan alis matamu
di tahun 1344, di kota terakhir bagimu
setelah bertahun-tahun kau memeras air minum
dari seribu sumur yang memabukkan
setelah menjelajahi pulau-pulau dan menjadi seribu suku
kau mungkin hanya dapat merasakan
dingin dan keheningan ini adalah hakikat dirimu
tapi kau selalu berkata Mozart, Mozart!
dan tak ada lagi jerit biola
di tahun 1344, tapi bukan seorang nabi
kota ini berdiri dengan sebuah kitab suci
dan selalu orang-orang menyerukan
pada akhirnya: kami hanya butuh puisi
di tahun 1344, tapi bukan seorang nabi
kota ini berdiri dengan sebuah kitab suci
dan selalu orang-orang menyerukan
pada akhirnya: kami hanya butuh puisi
tarian-tarian para dewi
2006
-----------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------
Eriyandi Budiman
LAHIR
KEMBALI
Sebuah granat yang disimpan di atas rel tentu
bukan untuk membunuh
kuman.Di negeri kami bom menjadi mainan yang tidak lucu.Para
mantan penguasa yang bengis, memasok cerita pembunuhan yang
sadis, di bawah kursi kekuasaan yang goyah.
kuman.Di negeri kami bom menjadi mainan yang tidak lucu.Para
mantan penguasa yang bengis, memasok cerita pembunuhan yang
sadis, di bawah kursi kekuasaan yang goyah.
Hujan fitnah.Banjir darah.Adalah menu makan
dan impian rakyat
yang jemu menunggu ratu adil.
yang jemu menunggu ratu adil.
Jalanan macet, penganggur berjejal menjilati
tujuh matahari yang
siap meledak.Jutaan buruh menjajakan kesepian ke negeri jauh.
Para pembajak berpesta di atas kepala yang penuh bara, menjadi
singa pemangsa anaknya sendiri.
siap meledak.Jutaan buruh menjajakan kesepian ke negeri jauh.
Para pembajak berpesta di atas kepala yang penuh bara, menjadi
singa pemangsa anaknya sendiri.
Di sini, aku terus mencari cinta yang kian
pudar warnanya.Puisi
menjadi tempat mengkeramasi dosa.Hingga setiap saat aku lahir
kembali.Menggapai kesufian, dibantai kesepian.
menjadi tempat mengkeramasi dosa.Hingga setiap saat aku lahir
kembali.Menggapai kesufian, dibantai kesepian.
----------------------------------------------------------------------
Bode Riswandi
IRHAM
Berombak-ombak percakapan kita di sini
Menuju karang, memukul kerang, menjaring udang
Serta menempa angan-anganmu yang memanjang
dan telentang.
Menuju karang, memukul kerang, menjaring udang
Serta menempa angan-anganmu yang memanjang
dan telentang.
Kau ikat hatimu di antara silir angin dan
serbuk pasir
Sementara aku semakin mendekat ke pesisir
Bagai nelayan karbitan yang menjaring seribu ikan
Tanpa jala, jangkar, atau perahu pelesiran.
Sementara aku semakin mendekat ke pesisir
Bagai nelayan karbitan yang menjaring seribu ikan
Tanpa jala, jangkar, atau perahu pelesiran.
Aku tersungkur ke dalam hatiku sendiri yang
serupa kamar
Lalu kau mengajakku ke mercusuar, menghitung camar
Menunjuk arah kaki langit yang gusar di tengah ketakutan
dan keberanian yang silih kejar.
Lalu kau mengajakku ke mercusuar, menghitung camar
Menunjuk arah kaki langit yang gusar di tengah ketakutan
dan keberanian yang silih kejar.
Aku memejam mencemburui matamu, Irham
Yang diam-diam memancarkan bulan kertas
Bulan yang kubidik dari pucuk dan ranting pohon
Dari malam ke malam paling khusuk.
Yang diam-diam memancarkan bulan kertas
Bulan yang kubidik dari pucuk dan ranting pohon
Dari malam ke malam paling khusuk.
2006
---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------
Nazaruddin Azhar
ZIARAH
HUJAN
mengenang hujan
senyap di rerumbai atap rumbia
netes perlahan
letih angin menempuh jauh
nyelinap di rongga bilik rapuh
senyap di rerumbai atap rumbia
netes perlahan
letih angin menempuh jauh
nyelinap di rongga bilik rapuh
bubungan injuk basah dan lapuk
bertengger burung hantu bersayap kutuk
ah, dada yang uzur
riwayat dan umur
segetar di pureut dan inang
yang membentangkan dawai hening
usai seribu tembang
berarak ke awang-awang
bertengger burung hantu bersayap kutuk
ah, dada yang uzur
riwayat dan umur
segetar di pureut dan inang
yang membentangkan dawai hening
usai seribu tembang
berarak ke awang-awang
dingin lagi kecapi
nyeri di nadi
menjalar ke ujung jari
jantung ini, indung
degupnya mengelawung
di rongga dada suwung
nyeri di nadi
menjalar ke ujung jari
jantung ini, indung
degupnya mengelawung
di rongga dada suwung
lalu talupuh bisu, serat-serat lantai bambu
mengendapkan langkah gaib itu
seakan daun-daun gugur
sempurna dilepas takdir
seakan bertanya
siapa yang tak pernah ada
di antara kita?
mengendapkan langkah gaib itu
seakan daun-daun gugur
sempurna dilepas takdir
seakan bertanya
siapa yang tak pernah ada
di antara kita?
2001
-----------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------
Kidung Purnama
PAMIJAHAN
Dan di sinilah
Aku mulai meniti gerbang tangga usia
Melangkahi detak impian dari batu ke batu
Merambat dalam irama waktu
Merapat di antara stalagnit dan stalagtit
Aku mulai meniti gerbang tangga usia
Melangkahi detak impian dari batu ke batu
Merambat dalam irama waktu
Merapat di antara stalagnit dan stalagtit
Ada getar kesunyian di lorong ini
Merambah gelombang belantara malam
Para peziarah lewat merayapi garis nasib
Gema dzikir serentak menghantam telinga
Tanpa akhir air khusuk mengalir
Membasahi jemari kaki menuju punggung bukit
Sedang dzikir terus menggedor dada
Membuat peluh melelh di tubuh pertapa
Keletihan dan basahnya cadas
Semakin mendekat menghimpit sisa nafas
Merambah gelombang belantara malam
Para peziarah lewat merayapi garis nasib
Gema dzikir serentak menghantam telinga
Tanpa akhir air khusuk mengalir
Membasahi jemari kaki menuju punggung bukit
Sedang dzikir terus menggedor dada
Membuat peluh melelh di tubuh pertapa
Keletihan dan basahnya cadas
Semakin mendekat menghimpit sisa nafas
Di antara lorong lain yang sempit
Keheningan perlahan bangkit
Menghentak dinding kerapuhan hati
Tiba-tiba saja adzan berkumandang dari altar jiwa
Pada tiga jalan petunjuk: Mekkah! Banten! Cirebon!
Diam-diam keterasingan angin dingin
Menyelinap dan memapah remuk lukaku
Malam semakin menggelisahkan genangan air
Sesekali membenturkan diri ke lekuk cadas
Dan kembali menyeret cahaya lentera itu
Ke lain ruang yang gelap dan jauh
Keheningan perlahan bangkit
Menghentak dinding kerapuhan hati
Tiba-tiba saja adzan berkumandang dari altar jiwa
Pada tiga jalan petunjuk: Mekkah! Banten! Cirebon!
Diam-diam keterasingan angin dingin
Menyelinap dan memapah remuk lukaku
Malam semakin menggelisahkan genangan air
Sesekali membenturkan diri ke lekuk cadas
Dan kembali menyeret cahaya lentera itu
Ke lain ruang yang gelap dan jauh
2002
------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------
Sarabunis Mubarok
ASMARANDANA
Melulu usia mengulum gairah bagi azimat yang
memayau pada didih darah yang membuncah. Aku
menjumpaimu, saat keyakinan begitu mencekam.
Kota-kota silam, sorot matamu yang ringan, dan cuaca
percintaan yang dikabuti rindu-lebam, melaju di kereta
kegelisahan, menuju lelancip nasib, dan kita raib di
antara kesangsian dan kecemburuan orang-orang.
memayau pada didih darah yang membuncah. Aku
menjumpaimu, saat keyakinan begitu mencekam.
Kota-kota silam, sorot matamu yang ringan, dan cuaca
percintaan yang dikabuti rindu-lebam, melaju di kereta
kegelisahan, menuju lelancip nasib, dan kita raib di
antara kesangsian dan kecemburuan orang-orang.
Lalu kubaca sentuhanmu, kesederhanaan yang
dipagari
pohon-pohon rindang dengan getah yang mengalir ke
hatiku. Kubaca sebagai sungai yang mengalirkan air susu
bagi hidup yang dilampaui segala kelu. Tak ada kemelut
bagi rahasia yang termandulkan dogma-dogma, tapi aku
telah menanam bunga bagi wangi-wangi ganjil dari
segala siasat yang memental ke kota-kota terpencil.
pohon-pohon rindang dengan getah yang mengalir ke
hatiku. Kubaca sebagai sungai yang mengalirkan air susu
bagi hidup yang dilampaui segala kelu. Tak ada kemelut
bagi rahasia yang termandulkan dogma-dogma, tapi aku
telah menanam bunga bagi wangi-wangi ganjil dari
segala siasat yang memental ke kota-kota terpencil.
Dan musim akan memanggang tubuh kita. Tapi
cinta
masih saja dirindukan ikan-ikan. Melulu kau kupancing
dengan kail paling tajam, melulu kubiarkan hatiku menjadi
umpan, sampai kau mengerang dengan luka menakjubkan,
menjelma rahasia yang setia mengirim peluh pada dingin
yang menggerayang, doa bagi sawah yang kutanam dengan
kesabaran untuk menunggu Tuhan menurunkan hujan.
masih saja dirindukan ikan-ikan. Melulu kau kupancing
dengan kail paling tajam, melulu kubiarkan hatiku menjadi
umpan, sampai kau mengerang dengan luka menakjubkan,
menjelma rahasia yang setia mengirim peluh pada dingin
yang menggerayang, doa bagi sawah yang kutanam dengan
kesabaran untuk menunggu Tuhan menurunkan hujan.
2007
----------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------
Mira Lismawati
SEPENGGAL
EPISODE DARI NEGERI ANGAN
Kau hanya memainkan sepotong episode dari
permainanku
Mengisi ruang dan waktu di rumah susun pikiranku
Yang digoyahkan angin dan digetarkan halilintar
Lantas aku menjadi gila oleh rupamu yang persis boneka
Mengisi ruang dan waktu di rumah susun pikiranku
Yang digoyahkan angin dan digetarkan halilintar
Lantas aku menjadi gila oleh rupamu yang persis boneka
Aku yang semakin asyik bermain dengan televisi
Menonton tubuh telanjangmu yang menggairahkan
Hingga mataku menjadi buram memecahkan layar angan
Menonton tubuh telanjangmu yang menggairahkan
Hingga mataku menjadi buram memecahkan layar angan
Aku memutuskan bunuh diri di ruang sepi
Bersama waktu yang pasrah di tanganku
Lalu kubacakan mantera kematian yang kucuri dari bait-bait puisi
Melubangi kuburan di atas lahan pikiran yang tandus seperti gurun
Bersama waktu yang pasrah di tanganku
Lalu kubacakan mantera kematian yang kucuri dari bait-bait puisi
Melubangi kuburan di atas lahan pikiran yang tandus seperti gurun
Aku tak menyesal
Sebab kematianku tak menyudahi kehidupan
Sebab kematianku tak menyudahi kehidupan
Aku ingin bereinkarnasi menjadi televisi
2002
----------------------------------------------------
----------------------------------------------------
Romli Burhani
PANGANDARAN
Akan selalu kutitipkan kerinduanku padamu,
Nyai
Meski kerap kali kau mengusirku pada sepi
Meski kerap kali kau mengusirku pada sepi
Ombak adalah hasrat yang tak khatam
mencumbu tubuhmu
Angin laut, pandangan yang tak selesai, dan
mencumbu tubuhmu
Angin laut, pandangan yang tak selesai, dan
Harum tubuhmu – sebuah wewangian dari
Pasir yang basah -
Telah menenggelamkanku pada sebuah cerita
Pasir yang basah -
Telah menenggelamkanku pada sebuah cerita
Di sebrang, lekuk tubuhmu yang lain
Bumi yang lain; lagu-lagu nelayan
Bumi yang lain; lagu-lagu nelayan
Di barat fajar menyekap darah burung-burung
Di timur senja terbakar meninggalkan bara
Langit mengendapkan laut pada garam yang pekat
Bulan tiba dan warna malam memudar
Di timur senja terbakar meninggalkan bara
Langit mengendapkan laut pada garam yang pekat
Bulan tiba dan warna malam memudar
2013
---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------
Nero Taopik Abdillah
MENJUMPAI
IBU
Kemarin anak-anak saling menghunus parang
membasuh ibu dengan amarah dan darah
membasuh ibu dengan amarah dan darah
Sengaja aku menemui ibu dengan napas yang
singkat
meraba udara panas, bercakap dengan sepasukan laron
yang hinggap di gelas-gelas kopi serta sajak yang tegap berdiri
di tengah kemenangan sepasang turis lokal
yang mengusung peta ke pusat kota
meraba udara panas, bercakap dengan sepasukan laron
yang hinggap di gelas-gelas kopi serta sajak yang tegap berdiri
di tengah kemenangan sepasang turis lokal
yang mengusung peta ke pusat kota
Reklame, aku tak sempat menjambangi kemenangan
selalu tubuh ibu yang kumuh, diguyur limbah
dijejali sampah dan dicekoki ramuan asing
ibu dengan lemak, dengan kolesterol, dan darah tinggi
semacam rute, semacam sejarah yang kekal
ada luka pada kulit, tulang dan daging ibu
dan seribu bocah menagih susu, berdesakan
saling menuding: akulah yang berhak!
selalu tubuh ibu yang kumuh, diguyur limbah
dijejali sampah dan dicekoki ramuan asing
ibu dengan lemak, dengan kolesterol, dan darah tinggi
semacam rute, semacam sejarah yang kekal
ada luka pada kulit, tulang dan daging ibu
dan seribu bocah menagih susu, berdesakan
saling menuding: akulah yang berhak!
Oktober 2012
----------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------
Yadi Riyadi
KOTA
SUNYI SELEPAS PURNAMA
lewat tengah malam
tak satupun pintu
dan jendela terbuka
semua menjadi dingin
diantara riuh angin
tak satupun pintu
dan jendela terbuka
semua menjadi dingin
diantara riuh angin
di matamu wajah kota
seperti tanpa cahaya
gelap menyekap mimpi
tanpa suara
seperti tanpa cahaya
gelap menyekap mimpi
tanpa suara
tapi di hatimu
telah kau tanam benih harapan
tumbuh menjadi ladang bebukitan
tempat anak-anak mencangkul
mimpi dan kenangan
telah kau tanam benih harapan
tumbuh menjadi ladang bebukitan
tempat anak-anak mencangkul
mimpi dan kenangan
lewat tengah malam
adakah kau dengar suara-suara lapar
berteriak meratap nasib di lorong sunyi
di manakah keadilan bermuara
bila airmata duka menjadi hujan badai
sementara kita hanya bisa berkabung
menunggu giliran di batu nisan
adakah kau dengar suara-suara lapar
berteriak meratap nasib di lorong sunyi
di manakah keadilan bermuara
bila airmata duka menjadi hujan badai
sementara kita hanya bisa berkabung
menunggu giliran di batu nisan